Masa Ihdad menurut Madzhab Imam Syafi'i (Berkabung)
Bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya makan wanita tersebut akan mengalami masa Ihdad dan kali ini kang niam akan membahas point tentang Masa Ihdad menurut Madzhab Syafi'i.
Beda masa iddah dan ihdad, ini adalah masa yang berbeda.
Ihdad berasal dari bahasa Arab yang berarti halangan atau larangan memakai wewangian dan perhiasan selama masa berkabung. Ihdad dalam fikih berarti keadaan wanita yang tidak menghias dirinya sebagai tanda perasaan berkabung atas kematian suami atau keluarganya. Ihdad hanya diwajibkan kepada istri yang meninggal suaminya, sedangkan suami tidak diwajibkan. Tujuan diwajibkannya ihdad adalah untuk menyempurnakan penghormatan istri terhadap suami dan memelihara hak suami.
Iddah (Arab: عدة; "waktu menunggu") di dalam agama Islam adalah sebuah masa di mana seorang perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya, baik diceraikan karena suaminya mati atau karena dicerai ketika suaminya hidup, untuk menunggu dan menahan diri dari menikahi laki-laki lain.
Seorang perempuan yang sedang dalam masa iddah disebut mu’taddah. Iddah sendiri menjadi 2, yaitu perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya (mutawaffa ‘anha) dan perempuan yang tidak ditinggal mati oleh suaminya (ghair mutawaffa ‘anha).
Iddah diwajibkan untuk memastikan apakah perempuan tersebut rahimnya sedang mengandung atau tidak, hal tersebut adalah penyebab kenapa seorang perempuan harus menunggu dalam masa yang telah ditentukan. Apabila ia menikah dalam masa iddah, sedangkan kita tidak mengetahui apakah perempuan tersebut sedang hamil atau tidak dan ternyata dia hamil maka akan timbul sebuah pertanyaan “Siapa bapak dari anak ini?” dan ketika anak tersebut lahir maka dinamakan “anak syubhat”, yakni anak yang tidak jelas siapa bapaknya dan apabila anaknya adalah perempuan maka ia tidak sah, karena ia tidak dinikahkan oleh walinya.
Ihdad menurut Imam Taqiyuddin adalah melarang dari berhias dan berwangi-wangian.1 Kata ihdad menurut Abu Yahya Zakaria al-Anshari berasal dari kata ahadda, dan kadang-kadang bisa juga disebut al-hidad yang diambil dari kata hadda. Secara etimologi ihdad berarti al-man’u (cegahan atau larangan).2 Pengertian senada juga dikemukakan oleh Sayyid Abu Bakar al-Dimyathi. Ia mengatakan, al-hidad berasal dari kata ahadda, dan biasa pula disebut al-hidad yang diambil dari kata hadda. Secara etimologis berarti al-man’u (cegahan atau larangan).
Dalam kitab Al Jami’ fi Fiqhi An-Nisa’ karya Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah yang diterjemahkan oleh M. Abdul Ghoffar EM dengan judul Fikih Wanita memberikan definisi mengenai pengertian
ihdad. Para ahli bahasa mengatakan, bahwa ihdad adalah asal kata ihadah berarti larangan. Sebagaimana seorang penjaga pintu disebut sebagai ihdad, karena ia melarang seseorang memasuki pintu tanpa izinnya.
Demikian pula suatu hukuman disebut sebagai had, karena ia bersifat menjauhkan seseorang dari perbuatan maksiat.
Arti ihdad adalah larangan berhias dan memakai wewangian, seperti larangan yang pemberian hukuman terhadap perbuatan maksiat, demikian menurut Ibnu Dusturiyah. Sedangkan Al-Farra’ mengatakan:
"Disebut juga sebagai besi karena kekakuan atau kesulitannya untuk dirubah. Adapun tahdid (pembatasan pandangan) berarti larangan menghadapkan pandangan kearah lain."
Menurut Al-Imam Asy-Syekh Muhammad bin Qasim al Ghazy, ihdad menurut bahasa adalah diambil dari kata "haddu" yang berarti "menahan".
Sedangkan menurut terminologi, Abu Yahya Zakaria al-Anshari memberikan pengertin ihdad, ialah:
"Meninggalkan memakai pakaian yang dicelup warna yang dimaksudkan untuk perhiasan"
Namun sedikit berbeda dengan Abu Yahya Zakaria al-Anshari, Sayyid Abu Bakar al-Dimyathi memberikan definisi ihdad sebagai berikut:
"Menahan diri dari bersolek atau berhias pada badan"
Dari kedua definisi di atas, terlihat dua hal perbedaan yang pokok:
Pertama, pada definisi yang pertama menekankan pada pakaian yang dicelup sebagai faktor yang harus dijauhi pada saat menjalani ihdad. Sedangkan pada definisi kedua, yang harus dijauhi adalah semua bentuk yang dinamakan bersolek dan berhias.
Kedua, pada definisi pertama tidak menyebutkan bahwa bersolek atau berhias yang harus dijauhi berkenaan dengan anggota badan, sedangkan pada definisi kedua disebutkan dengan begitu jelas yakni pada badan. Dengan demikian menghiasi sesuatu dalam bentuk apapun, bagaimanapun selain anggota badan, tidak terlarang dengan kata lain dibolehlkan. Sedangkan menurut istilah adalah masa berkabung bagi seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya dengan tidak "berhias dan tidak memakai wangi-wangian".
Dalam kitab Fathul Mu’in bi Syarhil Qurrotil Aini karya Syaikh Zainuddin ‘Abdul ‘Aziz al-Malibariy yang diterjemahkan oleh Ali As’ad
memberikan definisi mengenai ihdad yaitu:
Ihdad dalam bahasa Jawa biasa disebut "mbombrong" atau "ngusuh" yang wajib dilakukan oleh istri yang ditinggal mati oleh suaminya sekalipun masih kecil, yakni dengan meninggalkan pakaian yang berwarna sebagai perhiasan sekalipun itu kain kasar dan diperbolehkan memakai kain Ibraisim yang tidak diwenter.
Dalam kitab Fathul Qorib karya Al-Imam Asy-Syekh Muhammad bin Qasim al Ghazy dijelaskan mengenai ihdad yaitu:
Menurut istilah adalah menahan diri dari berhias, dengan tidak memakai pakaian yang berwarna yang bertujuan untuk berhias, misalnya pakaian yang berwarna kuning, atau merah.
Diperbolehkan memakai pakaian yang terbuat dari kapas, bulu, serat, dan sutera warna yang tidak bertujuan untuk berhias.
Dari beberapa definisi di atas mengenai ihdad, penulis dapat mengambil kesimpulan, bahwa ihdad menurut bahasa batasan-batasan.
Sedangkan menurut istilah, ihdad adalah meninggalkan hal-hal yang dapat menarik perhatian dari lawan jenis untuk melamar atau menikahinya berlaku bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya selama masa idah yakni empat bulan sepuluh hari (4 bulan 10 hari).
demikian yang bisa saya himpun dari berbagai sumber, semoga bermanfaat untuk anda yang membaca ini dan juga bermanfaat untuk saya dan keluarga saya amin.
Jadi masa ihdad itu berapa bulan?
Beda masa iddah dan ihdad, ini adalah masa yang berbeda.
Ihdad berasal dari bahasa Arab yang berarti halangan atau larangan memakai wewangian dan perhiasan selama masa berkabung. Ihdad dalam fikih berarti keadaan wanita yang tidak menghias dirinya sebagai tanda perasaan berkabung atas kematian suami atau keluarganya. Ihdad hanya diwajibkan kepada istri yang meninggal suaminya, sedangkan suami tidak diwajibkan. Tujuan diwajibkannya ihdad adalah untuk menyempurnakan penghormatan istri terhadap suami dan memelihara hak suami.
Iddah (Arab: عدة; "waktu menunggu") di dalam agama Islam adalah sebuah masa di mana seorang perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya, baik diceraikan karena suaminya mati atau karena dicerai ketika suaminya hidup, untuk menunggu dan menahan diri dari menikahi laki-laki lain.
Seorang perempuan yang sedang dalam masa iddah disebut mu’taddah. Iddah sendiri menjadi 2, yaitu perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya (mutawaffa ‘anha) dan perempuan yang tidak ditinggal mati oleh suaminya (ghair mutawaffa ‘anha).
Iddah diwajibkan untuk memastikan apakah perempuan tersebut rahimnya sedang mengandung atau tidak, hal tersebut adalah penyebab kenapa seorang perempuan harus menunggu dalam masa yang telah ditentukan. Apabila ia menikah dalam masa iddah, sedangkan kita tidak mengetahui apakah perempuan tersebut sedang hamil atau tidak dan ternyata dia hamil maka akan timbul sebuah pertanyaan “Siapa bapak dari anak ini?” dan ketika anak tersebut lahir maka dinamakan “anak syubhat”, yakni anak yang tidak jelas siapa bapaknya dan apabila anaknya adalah perempuan maka ia tidak sah, karena ia tidak dinikahkan oleh walinya.
Pengertian Ihdad
Ihdad menurut Imam Taqiyuddin adalah melarang dari berhias dan berwangi-wangian.1 Kata ihdad menurut Abu Yahya Zakaria al-Anshari berasal dari kata ahadda, dan kadang-kadang bisa juga disebut al-hidad yang diambil dari kata hadda. Secara etimologi ihdad berarti al-man’u (cegahan atau larangan).2 Pengertian senada juga dikemukakan oleh Sayyid Abu Bakar al-Dimyathi. Ia mengatakan, al-hidad berasal dari kata ahadda, dan biasa pula disebut al-hidad yang diambil dari kata hadda. Secara etimologis berarti al-man’u (cegahan atau larangan).
Dalam kitab Al Jami’ fi Fiqhi An-Nisa’ karya Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah yang diterjemahkan oleh M. Abdul Ghoffar EM dengan judul Fikih Wanita memberikan definisi mengenai pengertian
ihdad. Para ahli bahasa mengatakan, bahwa ihdad adalah asal kata ihadah berarti larangan. Sebagaimana seorang penjaga pintu disebut sebagai ihdad, karena ia melarang seseorang memasuki pintu tanpa izinnya.
Demikian pula suatu hukuman disebut sebagai had, karena ia bersifat menjauhkan seseorang dari perbuatan maksiat.
Arti ihdad adalah larangan berhias dan memakai wewangian, seperti larangan yang pemberian hukuman terhadap perbuatan maksiat, demikian menurut Ibnu Dusturiyah. Sedangkan Al-Farra’ mengatakan:
"Disebut juga sebagai besi karena kekakuan atau kesulitannya untuk dirubah. Adapun tahdid (pembatasan pandangan) berarti larangan menghadapkan pandangan kearah lain."
Menurut Al-Imam Asy-Syekh Muhammad bin Qasim al Ghazy, ihdad menurut bahasa adalah diambil dari kata "haddu" yang berarti "menahan".
Sedangkan menurut terminologi, Abu Yahya Zakaria al-Anshari memberikan pengertin ihdad, ialah:
لزينة يقصد بما مصبوغ لبس ترك
Namun sedikit berbeda dengan Abu Yahya Zakaria al-Anshari, Sayyid Abu Bakar al-Dimyathi memberikan definisi ihdad sebagai berikut:
البدن في الزينة من الإمتناع
Dari kedua definisi di atas, terlihat dua hal perbedaan yang pokok:
Pertama, pada definisi yang pertama menekankan pada pakaian yang dicelup sebagai faktor yang harus dijauhi pada saat menjalani ihdad. Sedangkan pada definisi kedua, yang harus dijauhi adalah semua bentuk yang dinamakan bersolek dan berhias.
Kedua, pada definisi pertama tidak menyebutkan bahwa bersolek atau berhias yang harus dijauhi berkenaan dengan anggota badan, sedangkan pada definisi kedua disebutkan dengan begitu jelas yakni pada badan. Dengan demikian menghiasi sesuatu dalam bentuk apapun, bagaimanapun selain anggota badan, tidak terlarang dengan kata lain dibolehlkan. Sedangkan menurut istilah adalah masa berkabung bagi seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya dengan tidak "berhias dan tidak memakai wangi-wangian".
Dalam kitab Fathul Mu’in bi Syarhil Qurrotil Aini karya Syaikh Zainuddin ‘Abdul ‘Aziz al-Malibariy yang diterjemahkan oleh Ali As’ad
memberikan definisi mengenai ihdad yaitu:
الإحداد الواجب على المتوفى عنها زوجها ولوصغيرة, ترك لبس مسبوغ لزينة وإن خشن, ويباح إبريسم لم يصبغ
Dalam kitab Fathul Qorib karya Al-Imam Asy-Syekh Muhammad bin Qasim al Ghazy dijelaskan mengenai ihdad yaitu:
وشرعا (الإمتناع من الزينة) بترك لبس مصبوغ يقصد به زينة كثوب أصفر أو أحمر ويباح غير المصبوغ من 8 قطن وصوف وكتان وإبريسم ومسبوغ لايقصد لزينة
Diperbolehkan memakai pakaian yang terbuat dari kapas, bulu, serat, dan sutera warna yang tidak bertujuan untuk berhias.
Dari beberapa definisi di atas mengenai ihdad, penulis dapat mengambil kesimpulan, bahwa ihdad menurut bahasa batasan-batasan.
Sedangkan menurut istilah, ihdad adalah meninggalkan hal-hal yang dapat menarik perhatian dari lawan jenis untuk melamar atau menikahinya berlaku bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya selama masa idah yakni empat bulan sepuluh hari (4 bulan 10 hari).
demikian yang bisa saya himpun dari berbagai sumber, semoga bermanfaat untuk anda yang membaca ini dan juga bermanfaat untuk saya dan keluarga saya amin.